Senin, 28 Desember 2015

Mengukur Gairah Seks Wanita Dengan Ciri Fisik Menurut Primbon Jawa

Sudah lama muncul anggapan, bentuk-bentuk fisik bagian tubuh perempuan bisa untuk mengukur kadar gairah seksualnya. Nah, ini dia 14 bentuk fisik pada diri perempuan, yang sekiranya menggambarkan hasratnya saat bercinta.


1. Bibir Sensual
Perempuan yang memiliki bibir sensual memiliki kemampuan oral seks yang hebat. Ia aktif di ranjang dan cenderung menguasai pasangannya saat bercinta.

2. Tubuh Bongkok Udang
Wanita yang memiliki tubuh bongkok udang sangat tahan lama. Goyangannya kuat dan tidak cepat orgasme.

3. Rambut Subur, Payudara Kecil
Wanita ini termasuk baik dan setia. Meskipun gairah seksualnya tidak menonjol, tapi ia mampu mengimbangi pasangannya. Kalau pria pasangannya memperlakukannya dengan penuh kasih, ia bisa jadi wanita yang menggairahkan. Tapi, ia cenderung tertarik kepada wanita sejenis alias lesbi.

4. Tubuh dan Bibir Tebal
Wanita ini tergolong pendiam. Ia pasif di tempat tidur dan tidak peduli pada pasangannya. Pria pasangannya perlu kesabaran untuk memanasinya, karena pada dasarnya ia bisa menjadi pasangan yang menyenangkan.

5. Pinggang Kecil, Pinggul Besar
Wanita ini biasa-biasa saja di tempat tidur. Ia bukan penikmat seks dan lebih memikirkan urusan rumah tangga serta masa depan anaknya. Ia tipe istri yang baik, setia dan tabah dalam menghadapi persoalan.

6. Tubuh Sedang, Mata Bulat
Wanita ini memiliki gairah seks yang kurang. Ia terlalu monoton, tidak ada keinginan untuk meningkatkan kemahiran dan belajar bagaimana menikmati seks. Seks baginya seperti kewajiban saja, sehingga banyak pasangannya yang kecewa.

7. Bibir Tipis, Alis Tebal
Secara fisik, wanita ini sangat menarik. Tetapi secara personal, ia bukan wanita yang ceria, cenderung pemuram dan pesimistis. Ia lebih sering cemberut dibanding tertawa dan tersenyum. Pantas kalau ia tampak lebih tua dibanding umurnya. Dalam hal asmara, ia tak semenarik penampilannya.

8. Payudara Besar, Wajah Bulat
Wanita ini setia, berbakti pada pria pasangannya, bahkan rela tak peduli pasangannya punya selingkuhan. Wanita ini tergolong dingin kepada pasangan. Ia sudah merasa cukup dan damai kalau dicukupi kebutuhan materialnya.

9. Bulu Halus di Tubuh
Wanita yang memiliki bulu halus di tubuh memiliki gelora seks yang menggebu-gebu dan sangat kuat dalam olahan asmara

10. Tubuh Mungil dan Padat
Wanita ini mungil dan padat sangat cerdik dan pandai saat melakukan atraksi di ranjang. Dia juga tidak mudah menyerah pada serangan yang dilakukan pasangannya.

11. Leher Panjang, Mulut Lebar
Wanita ini merupakan tipe teman yang baik. Dia berterus terang jika tak suka, membuat olah asmaranya dingin kalau pria pasangannya tak menangkap keinginannya. Wanita ini lebih suka memberikan bahasa isyarat, sehingga pihak pria harus peka dan tanggap.

12. Kaki Panjang, Dada Kecil
Wanita ini seksnya rendah, tapi Ia ramah, sopan dan pandai bertutur kata. Tapi soal asmara, wanita ini cenderung dingin, bahkan frigid. Pria pasangannya sering dibuatnya jengkel dan kesal karena itu.

13. Mata Elang dan Leher Panjang
Wanita ini diibaratkan seekor burung elang yang siap menerkam. Begitupula dalam kehidupan seksualnya, wanita yang memiliki ciri-ciri tersebut akan selalu menerkam pasangannya terlebih dahulu.

14. Lesung Pipit
Konon, pernikahan wanita ini sulit langgeng karena dia mudah tertarik pada laki-laki lain. Dalam urusan ranjang, wanita berlesung pipit tidak mudah mendapatkan kepuasan.
Sabtu, 26 Desember 2015

Sumpah, Nyupatani dan Disupatani

Menurut Baoesastra Djawa tulisan W.J.S Poerwadarminta, “supata” (atau “supaos” dalam bahasa Jawa Krama) bermakna wewelak, ipat-ipat dan netepake bener (nyata) ning prakara kanthi sumpah utawa ngajab wewelak. Sementara itu, “sumpah”, dalam kamus tersebut diartikan sebagai, nganggo pasaksining Allah diaturi nekseni yen apa sing dikandhakake pancen nyata utawa bakal dituhoni (dengan persaksian Allah untuk menyaksikan jika apa yang dikatakan memang benar atau akan dipatuhi).


Ada banyak kisah mengenai supata dalam berbagai cerita. Pada cerita pewayangan misalnya, Abimanyu pernah menyatakan bahwa dia belum menikah sembari menyampaikan supata agar bisa mengambil Dewi Utari sebagai istri. Akibat supata tersebut, pada perang Baratayudha nanti, Abimanyu akan tewas dengan luka sekujur tubuh (tatu arang kranjang) akibat serbuan anak panah. Dalam kasus ini, penyampaian suatu kebohongan yang disertai supata akan mencelakai orang tersebut. Berarti, supata berkaitan dengan kejujuran.

Supata biasanya akan “berfungsi” apabila si penyampai memiliki kesaktian. Seperti dalam cerita Rara Jonggrang-Bandung Bondowoso. Ketika Bandung belum usai merampungkan seribu candi, Rara Jonggrang memukul lesung agar ayam-ayam berkokok pertanda hari sudah pagi. Bandung Bondowoso yang murka kemudian nyupatani Rara Jonggrang sehingga menjadi arca untuk melengkapi candi keseribu. Dalam kasus ini, Rara Jonggrang terkena supata akibat berbohong, sementara Bandung menyampaikan supata karena telah dibohongi.

Pada zaman sekarang, kata “supata” telah jarang terdengar. Yang masih kerap terdengar justru kata “sumpah” atau “swear”. Kalau ada seseorang yang tak dipercayai lawan bicaranya, maka akan memantapkan pernyataannya dengan mengatakan, “Sumpah ! Wani samber bledheg! Wani kithing!” dan lainnya. Malah sampai tercetus “sumpah pocong!”.

Sebetulnya, seseorang yang terbiasa mengucapkan supata atau sumpah hanyalah mencari benarnya sendiri. Dia tidak mengerti kalau supata atau sumpah yang diucapkan disaksikan Allah. Kebiasaan tersebut terjadi karena karakter yang kurang kokoh, sehingga tidak bisa menjadi patokan moral.
Kebiasaan tersebut bisa dihilangkan melalui pendidikan karakter, sejak anak-anak masih kecil. Anak-anak dibiasakan berbicara apa adanya, tidak usah dengan supata atau sumpah. Kebiasaan balas dendam juga harus dihilangkan sedari dini. Sifat Tuhan yang memaafkan hamba-hambaNya harus menjadi teladan. Seseorang harus memiliki sifat legawa, jembar penggalihipun, dan mirah pangapuntenipun.

Ritual Minum Arak serta Seks Raja Kertanegara

Sri Maharaja Kertanagara atau yang lebih dikenal sebagai Raja Kertanegara adalah raja terakhir dan terkenal yang memerintah Kerajaan Singhasari. Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana.

Prabu Kertanegara dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara. Untuk mewujudkan ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di Selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting.
Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia kala itu.


Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi bangsa Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang).

Saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Kekaisaran Mongolia sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.

Pada tahun-tahun itu, Emperium Mongol ini berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.

Saat bersinggungan dengan Mongol inilah Kertanegara yang menganut Buddha ini mengenal aliran Tantrayana kiri. Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada dewa.

Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total.

Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dikisahkan sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual Tantrayana kiri adalah berpesta minuman keras dan seks demi mencapai pencerahan atau nirwana.

Namun ritual ini hanya dilakukan Kertanegara untuk mencapai pencerahan demi kemakmuran negara dan rakyat serta dalam menangkal serangan musuh. Jadi bukan untuk kesenangan pribadi atau kenikmatan duniawi semata.

Konon ritual ini mulai dilakukan Kertanegara karena dia mendapatkan kabar jika kehebatan Kubilai Khan yang berhasil menaklukan sebagian daratan Eropa dan Asia ternyata berasal dari kekuatan gaib ritual Tantrik yang dipelajari Raja Mongolia ini dari seorang biksu Tibet.

Kemudian Kertanegara mulai mendatangkan para spriritualist ahli Tantra dari Champa (Kamboja) yang berupa gadis-gadis muda yang menawan atau yoginis.

Ritual tersebut dilakukan Kertanegara di bangsal perempuan istananya dengan melibatkan para bawahannya dengan berpasang-pasangan baik laki-laki dan perempuan serta minuman keras.

Para peserta memakai topeng agar identitas mereka tersamarkan. Dalam praktiknya sejumlah peserta yang terdiri dari menteri dan hulubalang Singhasari ini mengikuti ritual dengan taat untuk menguji kemampuan menahan godaan nafsu duniawi demi meraih jalan menuju nirwana.

Sumber :
- Buku Gayatri Rajapatni, Earl Drake, Penerbit Ombak, 2012.

- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber.
Jumat, 25 Desember 2015

4 Hal yang Harus Dilakukan Pria Kepada Istri dalam Tradisi Jawa

Menurut budaya Jawa, perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat menentukan atas kualitas anak yang akan dilahirkannya. Mulai sejak awal pembuahan sampai ada dalam kandungan ibu, anak manusia ini harus mendapatkan bimbingan batin dari ibu secara terus menerus agar kelak dapat dilahirkan sosok anak manusia yang memiliki kondisi linuwih (unggul).

Seperti juga tanaman, akan subur dan berbuah lebat, sehat, bernas dan berkualitas jika tanaman itu sejak awal penanaman telah disiapkan dan diprogramkan. Demikian pula dengan memprogram kelahiran seorang anak manusia. Modal kasih sayang calon ayah pada ibu mesti dipupuk dan dipelihara jangan sampai dilumuri dengan nafsu-nafsu biologis yang brutal.


Perkawinan, dalam khasanah budaya Jawa (juga budaya lain) adalah sesuatu yang sakral, suci. Karena itu selalu dilakukan secara khusus disertai curahan doa dari para sesepuh (orang tua), handai taulan, sahabat, dan kenalan.

Prof. Ir. R. M. Soewandi Notokoesoemo, mantan Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1955-1956) Kabinet Burhanuddin Harahap pernah menyebutkan 'dalam memadu cinta, memadu tubuh dan jiwa dan memadu cipta, hendaknya jangan hanya didorong oleh tujuan untuk menciptakan buah cinta sayang mereka berdua yakni keturunan/tunas generasi baru yang baik segala-galanya.

Dari keinginan itu, menurut Soewandi, hendaknya sepasang manusia harus saling menyiapkan diri untuk proses regenerasi dengan lila, narima, temen, lan utama (rela hati, menerima dengan hati yang bersyukur, lurus hati/jujur, dan utama/budi pekerti yang baik).

1. Lila: artinya suami harus dengan hati rela menerima rayuan dan permintaan istri. Sebab rayuan tersebut bila dipenuhi akan menyebabkan makin besar cinta kasih istri pada suami sehingga kebahagiaan istri makin besar dan mantap.

2. Narima: artinya suami harus menerima sepenuh hati kepuasan hati istri yang berupa imbalan pelayanan dari istri sebab bila imbalan pelayanan tersebut dihargai dan diterima dengan gembira hati, maka akan membuat kebahagiaan hati istri. Hal itu akan terlihat pada kemantapan dan kesungguhan istri dalam melayani kehendak suami.

3. Temen: artinya suami harus benar-benar setia pada janji atau kesanggupan yang telah diucapkan. Sebab bila janji tidak dipenuhi akan berakibat berkurangnya cinta kasih istri sehingga bisa menyebabkan berkurangnya rasa hormat istri pada suami.

4. Utama: artinya suami harus gemar memaafkan kesalahan istri sebab bagi suami yang mudah memaafkan kesalahan istri tentang hal-hal kecil (sepele) sehari-hari akan menambah keteguhan hati istri. Ini akan membuat istri sudi berkorban demi suami.

Yang lebih utama, pasangan suami istri harus memahami pertelaan (perincian) penitisan wijining dumadi (bibit anak manusia yang baik) dengan memahami saat-saat yang baik untuk memadu cinta, memadu tubuh, jiwa dan memadu cipta yang tepat.

Hubungan Intim Dalam Tradisi Jawa

Salah satu penyebab munculnya manusia-manusia yang kurang berbudaya karena sikap dan tindak tanduknya tidak sesuai kaidah dan tatanan menurut para leluhur di Jawa adalah karena sejak lahir manusia tidak disiapkan. Persiapan itu bahkan terjadi sebelum seorang manusia lahir. Diyakini jika sesuatu tidak dimulai dengan cara atau jalan yang benar maka akibatnya adalah kesalahan yang menumpuk. Artinya sejak awal pembentukan manusia (hubungan intim) terjadi, kita tidak bisa sembarangan.


Dalam berbagai lakon carangan wayang kulit Purwa karya Wali Sanga proses kelahiran menjadi sesuatu yang penting. Kalau ada kekeliruan bisa mengakibatkan bahaya di masa depan (dewasa). Proses yang keliru itu disebut "Salah Kawitane, Bilae Wekasane" atau salah pada awalnya (salah cara senggamanya sehingga celaka sampai akhir).

Kisah-kisah pewayangan yang menggambarkan kekeliruan itu antara lain 'Kisah Begawan Abiyasa', 'Hikayat Sri Rama', 'Aji Dipa Manunggal' (kisah lahirnya Pendawa Lima). Ada juga kisah yang menuju pemahaman tentang wedharing kawruh sangkan paraning dumadi (uraian pengetahuan tentang awal mula kehidupan) dalam lakon 'Bima Mencari Tirta Perwita Suci' yang mengajarkan inti falsafah kehidupan.

Beragam kisah ini menjadi contoh jelas bahwa konsep spiritual tentang nikah rohiah diharapkan dapat menurunkan generasi penerus yang berkualitas.

Sepasang manusia sudah menyiapkan diri secara total dalam olah rasa, karsa dan ciptanya pada waktu menjelang (saat dan sesudah) melakukan hubungan intim atau penyatuan raga dan jiwa yang telah diikrarkan dalam bentuk nikah jasmani (upacara pernikahan) untuk mendapatkan keturunan dan generasi yang bermutu.

"Secara rasional-emosional hal ini mungkin dianggap mimpi terutama bagi mereka yang tidak mau belajar spiritualisme Jawa dan dianggap mitos. Tetapi kenyataannya memang selama ini begitu adanya,"ujar Budiono Herusatoto dalam bukunya Seks Para Leluhur.

Seni Dan Mitos Seks Dalam Ajaran Jawa

Salah satu pertanda dari peradaban adalah seksualitas. Manusia sudah demikian maju dari sekedar memuaskan naluri kebinatangan yang bersifat badaniah ke berbagai keintiman cinta, dengan segala kemesraan, kelembutan, sensualitas dan keceriaannya. Peningkatan kualitas pada seksualitas sering merupakan konsekuensi alami dari peradaban yang stabil, matang dan canggih. (Seni & Mitos Seksualitas Cina Kuno, Quills Book Publisher, 2007).


Perjalanan peradaban manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari seks, mengingat seks sebagai salah satu cara untuk meraih kebahagian sekaligus sarana untuk meneruskan keturunan. Sudut pandang dan pemahaman manusia tentang seks berbeda-beda menurut adat kebudayaannya masing-masing. Hal ini terungkap dari temuan manuskrip-manuskrip sastra yang memuat tentang ajaran seksologi di berbagai negara. Dari berbagai temuan dari peradaban dunia, India dan Cina dianggap sebagai negara yang dengan jelas menuliskan tentang seks sebagai seni bercinta adalah kegiatan ritual mistis sebagai bagian dari harmoni kehidupan. Bahkan kitab-kitabTantradari India dengan gamblang mengambarkan berbagai posisi dalam hubungan seksual pada relief-relief candi. Ini pun juga terekam dengan jelas pada lukisan-lukisan kuno Cina yang disebut sebagaiSeni Kamar Tidur. Perbedaan pemahaman tentang seks antara India dan Cina terletak pada paradigma, dalam Tantrisme mengarah sebagai ritual keagamaan yang bersifat sakral sedangkan kebudayaan Cina memandang sebagai kegiatan pragmatis keduniawian yang mengarah pada ketenangan, kebahagian dan kesehatan.

Di Indonesia (peradaban Jawa), temuan tertua mengenai seks berada di Candi Sukuh, Karanganyar. Kebudayaan Hindu yang pada waktu itu menjadi sentral tentang ajaran seks terlihat pada patung lingga-yoni sebagai menifestasi alat kelamin pria dan wanita. Pemahaman dan filosofis dari seks ini lebih lanjut terurai pada masa kerajaan Kasunanan Surakarta dengan diciptakannya Serat Centini dan Serat Nitimani. Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang Jawa dahulu telah mempunyai pemahaman akan seni bercinta dengan baik, ditunjukan dengan berbagai macam tata cara dan posisi seks yang tidak menyimpang atau menjijikkan dalam kaidah kesehatan modern saat ini.

Serat Centini sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa memasukkan seks menjadi bagian dari tata cara dan ritual kehidupan yang selaras. Serat Centini dan Serat Nitimani menuliskan hakikat kegiatan seks sebagai sarana untuk meneruskan keturunan. Etika dan tata cara melakukan hubungan seks dibuat dengan tujuan sebagai sarana kebahagian dan juga untuk meningkatkan harkat dan martabat pelaku. Sisi religius dari seks digambarkan dengan adanya mantra-mantra saat melakukan kegiatan tersebut sebagai upaya atau doa agar mendapatkan keturunan yang baik. Seluruh ajaran tersebut disampaikan dalam bentuk tembang Macapat, sehingga ketika disampaikan dalam bentuk arahan atau piwulang orang tua terhadap anak tidak berkesan vulgar.
Jumat, 18 September 2015

Jejak Para Raja Dalam Pewayangan Jawa

Asal mula masuknya dan pementasan wayang kulit di Nusantara memang belum diketahui secara pasti. Berita tertulis tertua yang menyebutkan mengenai wayang terdapat dalam Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa yang hidup pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042). Kata wayang dalam kakawin tersebut nampak pada penyebutan “awayang” atau “aringgit” sebagai berikut. Hananonton ringgit manangis asekel muda bidepan buwus wruh tuwin yan walulang inukir malah inucap batur nin wan tresnen wisaya malaha ta wihikanari tatwa nyan maya sahana-hana nin bawa siluman…. (Ada orang yang menonton wayang menangis sedih. Bodoh benar dia. Padahal sudah tahu juga bahwa yang bergerak dan berbicara itu kulit yang ditatah. Memang kata orang dia sedang terkena daya gaib, sedangkan seharusnya ia tahu bahwa pada hakekatnya (pertunjukan) itu hanyalah palsu, segala yang ada ini maya belaka).


Untuk selanjutnya, para penguasa di Tanah Jawa saling berlomba-lomba untuk menyempurnakan pagelaran wayang hingga pada sosok wayang itu sendiri. Tak hanya penguasa, para ulama seperti Walisongo juga memanfaatkannya sebagai media dakwah. Berikut ulasan pengembangannya dari masa ke masa.

1
Prabu Jayabaya memindahkan dan memperbesar gambar-gambar wayang dari daun Tal ke permukaan kulit yang ditatah dan diberi pegangan dari bambu pada tahun 959 Masehi atau 861 Çaka dengan sengkalan candraning wayang wolu (Akan tetapi pendapat ini tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun itu yang memerintah kerajaan adalah Empu Sindok (928-947) dan prabu Jayabaya memerintah tahun 1130-1160).

2
Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit menyempurnakan gambar wayang dengan memberi sunggingan (warna) pada tahun 1378 Masehi atau 1300 Çaka dengan sengkalan tanpa srna gunaning atmaja.

3
Prabu Ajisaka atau Widayaka dari kerajaan Purwacarita membuat Pakem Lakon Dewa-Dewa pada tahun 1379 atau 1301 Çaka, dengan sngkalan ratu guna maletik tunggal.

4
Para Wali seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus menyempurnakan pertunjukan wayang dengan pemakaian kelir, debog, blencong, untuk pertunjukan semalam suntuk pada tahun 1521 atau 1443 Çaka dengan sengkalan geni dadi sucining jagad.

5
Sultan Trenggana dari kerajaan Kediri menyempurnakan bentuk wayang dengan penatahan pada tahun 1555 atau 1477 Çaka, dengan sengkalan resi pitu kinarya tunggal. (Pendapat ini tidak cocok dengan ilmu sejarah karena Sultan Trenggana memerintah Kediri pada tahun 1521-1546).

6
Prabu Hamangkurat Tegal Arum (Amangkurat I) menambah pertunjukan wayang dengan pengiringan pesinden pada tahun 1634 atau 1556 Çaka, dengan sengkalan wayang dua ing wana tunggal.

Perkembangan bentuk dan pementasan wayang kulit sejak kerajaan Hindu hingga pembaruan pada masa Islam yang termuat dalam Serat Centhini tersebut kini dapat dilihat dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa. Hal ini dapat dicermati mulai dari simpingan wayang hingga bentuk masing-masing tokoh pewayangan yang banyak menyimbolkan watak wantu manusia.

Gugon Tuhon Pantangan Ibu Hamil

PERCAYA atau tidak, hingga kini, masyarakat pendukung kebudayaan Jawa masih memegang teguh hal-hal mitos tertentu, seperti pantangan untuk ibu hamil. Memang sejatinya hal-hal yang merupakan pantangan ini untuk beberapa kasus terlihat logis, namun pada beberapa kasus lainnya terlihat tak mampu dijangkau nalar.


Pantangan-pantangan tersebut antara lain,

Pantangan melipat bungkus makanan. Konon, ketika seorang ibu alpa dengan melipat bungkus makanan, si jabang bayi nanti terlahir dengan kondisi terbungkus ari-ari (plasenta).

Pantangan memakan udang dan kepiting. Selain karena kedua seafood ini mengandung merkuri yang bisa berdampak pada cacatnya si jabang bayi, menurut kepercayaan nenek moyang, ibu hamil yang mengonsumsi udang dan kepiting akan melahirkan anak yang berbadan bungkuk.

Pantangan duduk terlalu lama. Konon, ibu hamil yang duduk terlalu lama akan mengalami kesulitan dalam proses persalinan.

Pantangan memakan telur. Sebenarnya telur mengandung banyak protein hewani yang baik untuk pertumbuhan sel-sel baru. Namun masyarakat penghayat kebudayaan Jawa melarang ibu hamil memakan telur sebab akan membuat janin terus bergerak dan menggelisahkan sang ibu.

Suami Dilarang Membunuh Hewan Apapun Selama Istri Hamil. Larangan ini sepertinya sudah mengakar sekali di kalangan masyarakat. Konon, ketika suami alpa dan membunuh hewan secara semena-mena, anak yang terlahir nanti akan mengalami cacat atau berrupa sama seperti hewan yang dibunuh.

Pantangan Duduk di Tengah-Tengah Pintu. Selain dilarang untuk duduk terlalu lama, ibu hamil dilarang untuk duduk di tengah-tengah pintu. Mereka percaya duduk di tengah pintu akan membuat proses persalinan akan berjalan sulit karena bayinya akan berhenti keluar ketika sudah keluar setengah.

Pantangan Mandi Larut Malam. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, si jabang bayi dari ibu hamil yang mandi larut malam akan menyusut atau bisa lahir secara prematur.

Pantangan Mengikatkan Handuk di Leher. Ibu hamil yang mengikatkan handuk di leher konon menyebabkan si jabang bayi terikat oleh tali pusar sehingga menyulitkan proses persalinan.

Pantangan Memaki dan Mengumpat Orang. Tentu saja ibu yang tengah mengandung harus menjaga sikap dengan tidak memaki atau menggunjing orang lain meskipun dia dalam kondisi semarah apapun. Ditakutkan, orang yang dimaki atau digunjingkan akan memberikan doa buruk pada kehamilan ibu tersebut.

Pantangan Makan Pisang Dempet. Konon ibu hamil yang mengonsumsi pisang dempet (pisang siam) dan buah siam lainnya dipercaya dapat membuat ibu hamil mengandung anak yang kembar siam.

Pantangan Menutup Lubang dan Menjahit Baju. Gugon tuhon yang berkembang, ibu hamil yang menjahit baju atau menutup lubang akan menyebabkan bagian dari tubuh bayi yang berlubang seperti (maaf) anus menjadi tersumbat. Atau kebalikannya, akan ada bagian tubuh bayi yang berlubang.

Beberapa pantangan yang beraroma mitos itu mungkin sebagian dari banyak mitos yang berkembang di wilayah lain di Jawa Tengah. Namun satu yang pasti, seorang ibu hamil dan suaminya, harus benar-benar menjaga sikap dan perilaku hingga sang bayi hadir di dunia. Prinsip Jawa menuturkan, sapa nandur bakal ngundhuh. Siapa menabur, dialah yang menuai. Terlepas dari mitos yang ada, akan senantiasa mulia jika selalu eling dan waspada.

Asah Spiritualitas Lewat Puasa Kejawen

KEBERADAAN laku kebatinan untuk mengasah spiritualitas batin, bagi masyarakat Jawa, bukanlah hal baru. Berragam lelaku dijalankan untuk meraih derajat tertinggi untuk menjadi manusia utama. Salah satu cara yang ditempuh untuk meraih status “manusia utama” itu antara lain melalui puasa. Filosofi Jawa menyatakan, puasa sebagai sarana menggembleng jiwa, raga, mempertajam rasa batin, olahrasa-pangrasa, serta menyucikan hati dan pikiran.
Para penghayat Kejawen telah menemukan metode-metode untuk membangkitkan spirit agar menjadi manusia yang kuat jiwanya dan luas alam pemikirannya, salah satunya yaitu dengan menemukan puasa-puasa dengan tradisi kejawen. Dalam peradaban spiritual Kejawen, seorang penghayat Kejawen biasa melakukan puasa dengan hitungan hari tertentu untuk menaikkan kemampuan spiritual metafisik mereka.



Macam-macam puasa berdasarkan tradisi Jawa adalah sebagai berikut;

1. Mutih
Ketika melakukan puasa mutih, seseorang tidak dibolehkan memakan apa-apa kecuali nasi putih dan air putih saja. Ketika dikonsumsi, nasi putihnya pun tidak boleh ditambah bahan apapun termasuk gula dan garam. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra tertentu.

2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran/buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur, dan sebagainya.

3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

4. Pati geni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya).

5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.

6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja. Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih, perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.

9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.

11. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

12. Tapa Jejeg
Tidak duduk selama 12 jam

13. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri

14. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Ada beberapa tatacara tapa kungkum yang harus dipatuhi dan biasanya dilakukan semala 7 malam.

15. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik karena dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.

16. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Ketika akan masuk ke dalam kubur, pelaku Ngeluwang diharuskan membaca mantra, ” Niat ingsun ngelowong, anatupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang nganggu mang jiwa insun, lebur kaya dene banyu, krana Allah ta’ala.”
Selasa, 15 September 2015

Agami Jawi : Sebuah Pranata yang Terlupa

SISTEM religi Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual orang Jawa. Olah cipta rasa karsa dan daya spiritual tersebut melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi atau sesembahan yang disebut Kang Murbeng Dumadi (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya).



Karena dasarnya telah berwujud hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual maka ada perjalanan menuju kesadaran adanya Realitas Tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi tersebut. Perjalanan menuju kesadaran adalah suatu proses penalaran yang dibarengi dengan laku kebatinan yang dalam khasanah Jawa disebut laku nawungkridha. Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai “tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine”.
Sistem budaya agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa.

Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat; keyakinan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, yakni adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta; memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni adanya roh-roh penjaga; yakin adanya setan, hantu dan raksasa; dan yakin adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta ini.


Dari hasil kesusasteraan juga dapat ditinjau keterkaitan antara agami Jawi dengan unsur-unsur agama Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton Mataram pada abad XVI dan abad XVIII, seperti Serat Centhini, Primbon atau Suluk. Konsep keagamaan Jawa-Bali mengenai Tuhan yang dilambangkan sebagai Dewa Ruci juga dimasukkan dalam karangan yang mengandung pandangan magis-mistik yang sangat berorientasi kepada agami Jawi seperti Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco.


Konsep mengenai Tuhan-Dewa Ruci juga banyak dijumpai dalam karya para puajangga keraton yang terkenal yang hidup dua abad sesudah itu, seperti Yasadipura I dan puteranya Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsito. Dalam gubahannya yang berjudul Serat Sasanasunu, Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan mengenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia. Demikian halnya dengan keyakinan tentang Nabi Muhammad, sistem keyakinan agama Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah. Dalam setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, selain mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai Kanjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah.

Dalam hal keyakinan terhadap tokoh-tokoh keramat, selain keyakinan terhdap dewa-dewa yang berperan sebagai pelindung manusia, agama Jawi banyak mengangkat guru-guru agama menjadi orang keramat dalam sistem keyakinan orang Jawa seperti Walisanga, tokoh penyebar Islam yang bersifat historis. Agama Jawi juga memiliki keyakinan tersendiri terhadap konsepsi penciptaan alam semesta yang dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni :
  1. Mite-mite yang mengandung unsur-unsur dominan Hindu-Budha.
  2. Mite-mite yang mengandung unsur-unsur sinkretik antara Agama Jawi dan Islam.
  3. Mite-mite dengan unsur magis-mistik.
Maneges : Sebuah Laku Kebatinan Jawa
Spiritualisme atau laku kebatinan berkaitan dengan pemahaman manusia akan hakekat hidupnya. Hal ini berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan, antara lain :
  1. Laku kebatinan sebagai bagian dari ritual panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi Jawa.
  2. Laku kebatinan yang berhubungan dengan menjaga panunggalan semesta yang berkaitan dengan mitologi Jawa.
  3. Laku kebatinan yang berhubungan dengan upaya mencapai tingkat titah utama.

Spiritualisme keberadaban manusia, selanjutnya merupakan laku kebatinan untuk mencapai derajat manusia utama yang disebut Insan Kamil  dalam khazanah lain. Laku kebatinan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut Piwulang Kautaman. Isi ajarannya tentang budi pekerti luhur yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita menjadi titah utama.

Cukup luas cakupan laku spiritualisme keberadaban manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang tata tentrem kerta raharja. Termasuk dalam hal ini laku kebatinan untuk kepentingan mendapatkan berbagai daya linuwih untuk menunjang kehidupan duniawi.




Laku kebatinan juga digunakan untuk mencari pesugihan, aji-aji, gendam, jimat, pusaka, dan sebagainya. Ilmu kebatinan jenis ini dalam Wedhatama dianggap kurang baik, karena dianggap melakukan persekutuan (kekarangan) dengan bangsa gaib, sebagaimana tercantum dalam pupuh Pangkur Wedhatama pada 9 berikut,

“Kekerane ngelmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning dagng kulup, yen kapengok pancabaya, ubayane mbalenjani”
(Pengaruh atau andalan ngelmu karang itu berteman atau menadakan perjanjian (minta pertolongan) kepada bangsa gaib. Yang seperti itu ibaratnya hanya bedak yang tidak masuk ke jiwa raga. Tempatnya masih di luar daging. Ketika digunakan untuk menghadapi bahaya, biasanya malah jadi hambar, tidak berdaya guna)

Laku kebatinan lain yang juga dipercaya dalam spiritualitas Kejawen terdiri atas tiga tingkatan, yaitu Maneges, Semedi, dan Wiridan.
  1. Maneges adalah perilaku kebatinan yang diwujudkan dalam kegiatan bertapa di tempat-tempat sepi yang bertujuan untuk meminta “petunjuk” Tuhan. Ada yang menyebutnya sebagai Sembah Jiwa kepada Tuhan.
  2. Semedi yang istilah populernya adalah meditasi, yaitu suatu kediatan kebatinan yang memiliki tujuan untuk mencapai ketenteraman batin dan menata dayaning urip (prana jati) agar dapat diberdayakan dalam menjalani hidup.
  3. Wiridan yaitu kegiatan batin dengan membaca atau melafalkan rapal (japa mantra) yang isinya untuk berserah diri kepada Tuhan. Umumnya dilakukan dengan rutin, dengan hitungan-hitungan tertentu.

Ada banyak tatacara maneges, semadi, dan wiridan. Setiap penekunan kebatinan Jawa memiliki tatacara sendiri. Ada yang mudah dijalankan, ada yang sangat sulit, bahkan mustahil. Ada yang hanya dilakukan begitu saja tanpa syarat dan sarana apa-apa, ada yang perlu ubarampe berupa sesaji dan membakar dupa. Kesemuanya punya muara yang sama: menuju tingkat tertinggi spiritualitas manusia.

Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana

AJINING dhiri gumantung ana ing lathi. Demikianlah lengkapnya peribahasa Jawa ini. Terlihat singkat, namun sebenarnya menyimpan makna mendalam. Harga diri, kehormatan diri, semua bergantung pada apa yang keluar dari mulutnya. Jika seseorang itu ingin dihargai, semestinyalah kalimat yang disampaikan harus melambangkan “harga” dirinya sendiri. Seseorang benar-benar harus memilih dan memilah kata, sebab “mulutmu harimaumu.” Jangan sampai cap sebagai orang urakan dan tak bermoral mendarat, hanya gara-gara kalimat yang terucap tak memperhatikan norma dan etika.



Lebih dari itu, jika seorang cendekiawan atau ulama mengeluarkan pendapat, haruslah segalanya dipertimbangkan masak-masak. Sebab harga seorang manusia terletak pada apa yang diucapkannya, seseorang yang menyandang predikat sebagai cendekiawan, guru, atau juga ulama, harus mempertanggungjawabkan gelar itu pada kalimat yang diutarakan. Jangan sampai menodai penghormatan yang disandang hanya karena apa yang diucapkan tak sesuai dengan kepribadian.


Begitu pun dengan peribahasa “ajining raga saka busana.” Seseorang harus menghargai dan menghormati dirinya sendiri lewat apa yang dikenakannya. Kalau dia mampu menghormati dan menghargai dirinya lewat busana, orang lain juga akan menaruh segan yang sama padanya. Jangan menyalahkan stigma negatif yang muncul jika memang kita sendiri tak mampu menjaga penampilan kita. Betapa busana memberi penghargaan tersendiri bagi tubuh kita. Lebih dari itu, seseorang hendaknya selalu tahu tempat dan waktu untuk berbusana, atau dalam istilah masa kini, jangan sampai “salah kostum.” Segalanya semata-mata demi ngajeni awak-e dhewe. Menghargai dirinya sendiri.

Hamemayu Hayuning Bawana

BUKAN JAWA namanya jika tidak menyimpan filosofi agung tentang kehidupan. Satu dari sekian banyak nilai luhur itu termaktub dalam hamemayu hayuning bawana (memayu hayuning bawana) yang bermakna, mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.


Lebih dari itu, perwujudan memayu hayuning bawana perlu dilakukan mulai bawana alit yang bermakna pribadi dan keluarga, bawana agung yang berarti masyarakat, bangsa, dan negara, serta bawana langgeng atau alam akhirat.

Konsep memayu hayuning bawana lekat dengan ajaran Kejawen yang lekat dengan hal-hal kosmologis. Landasan dari konsep ini adalah ‘eling dan waspada.’ Sehingga, filosofi memayu hayuning bawana memuat dua esensi yakni sebagai ruang budaya dan spiritual budaya.
Sebagai ruang budaya, bawana dipandang sebagai jagad rame yakni tempat hidup manusia. Siapa yang berbuat baik saat masih hidup di jagad rame, akan menuai hasilnya.


Sementara sebagai spiritualitas budaya, memayu hayuning bawana berarti lebih condong pada penghayatan batin. Spiritualitas budaya mengimbangi ruang budaya. Dalam jagad rame tadi, seseorang harus mengiringinya dengan laku batin seperti tirakat agar mampu mewujudkan dunia yang tenteram.

Ini Yang Terjadi Dalam Upacara Midodareni Dalam Pernikahan Jawa

Dalam upacara midodareni, biasa dilakukan srah-srahan atau peningsetan. Pada zaman dulu, peningsetan dilakukan sebelum malam midodareni. Orang tua dan keluarga calon pengantin pria memberikan beberapa barang kepada orang tua calon pengantin wanita. Peningsetan berasal dari kata “singset”, yang artinya “mengikat erat”, dalam hal ini adalah komitmen  akan sebuah perkawinan antara putra putri kedua belah pihak  dan para orang tua penganten akan menjadi besan.




Pemberian itu berupa :
  1. Satu set suruh ayu, sebagai perlambang  harapan tulus  supaya mendapatkan keselamatan.
  2. Seperangkat pakaian untuk penganten wanita, termasuk beberapa kain batik dengan motif yang melambangkan kebahagiaan hidup.
  3. Sebuah stagen, sebagai pertanda kuatnya  tekad.
  4. Beberapa hasil bumi seperti beras, gula, garam, minyak goreng, buah-buahan dan sebagainya yang melambangkan hidup kecukupan dan sejahtera bagi keluarga baru..
  5. Sepasang cincin kawin untuk kedua mempelai, dan
  6. Sejumlah uang yang diserahkan oleh calon mempelai pria secara simbolik sebagai sumbangan untuk pelaksanaan upacara perkawinan.
Menurut adat perkawinan Surakarta, ketika rombongan mempelai pria berpamitan pulang usai memberikan peningsetan, pihak tuan rumah akan memberikan angsul-angsulan berupa buah-buahan, kue-kue dan seperangkat pakaian temanten pria yang akan dipakai besok. Akan tetapi, pada adat perkawinan gaya Yogyakarta, tidak dilakukan adat angsul-angsulan.

Tradisi Nyantri Mempelai Pria
Pada umumnya, sewaktu rombongan keluarga temanten pria pulang dari upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut diajak pulang. Tetapi, bila calon mempelai pria nyantri, maka dia ditinggal di rumah calon mertuanya. Tentunya, untuk melakukan nyantri, juru bicara keluarga masing-masing telah bertemu untuk membicarakan hal ini. Namun, meski calon mempelai pria tinggal di rumah mempelai wanita, dia tetap tidak diperbolehkan bertemu dengan calon istrinya dan sesudah itu diantar ke kamar  tidur  untuk beristirahat.

Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya saja. Mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul atau pernikahan. Selain itu nyantri juga dimaksudkan untuk keamanan pernikahan karena kedua calon mempelai sudah berada di satu tempat.

Macak, Masak, lan Manak Wanita Jawa

WANITA adalah sosok yang wani nyuwita. Demikian masyarakat Jawa memandang sosok yang keberadannya ditinggikan sebagai pendorong kesuksesan pria. Sayangnya konsep wani nyuwita ini bergeser menjadi wani ditata yang punya makna lain. Jika wani nyuwita bermakna sudi untuk patuh, wani ditata lebih bermakna patuh secara terpaksa. Dalam khazanah Jawa, sedikitnya ada empat kata yang dipergunakan untuk menyebut sosok wanita. Antara lain wadon, wanita, estri, dan putri. Masing-masing memiliki makna yang tak boleh disepelekan.


Pada sebutan “wadon” misalnya, istilah ini diambil dari bahasa Kawi “Wadu” yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah diartikan bahwa perempuan ditakdirkan sebagai abdi laki-laki. Atau pada sebutan estri. Sebutan ini berasal dari bahasa Kawi “Estren” yang berarti panjurung (pendorong). Maknanya sama seperti yang saya tulis di baris pertama. Yakni, sebagai pendorong lelaki untuk mencapai sukses.
Selain itu, kehidupan wanita Jawa juga identik dengan macak, masak, dan manak. Tapi tahukah Anda, bahwa ketiga kebiasaan itu memiliki nilai filosofi yang mendalam?

1. Masak
Wanita atau perempuan Jawa tidak sekadar membuat atau mengolah makanan, melainkan memberi nutrisi dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sehat. Dalam aktivitas memasak, seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi sebuah makanan. Ini adalah wujud kasih sayang istri terhadap seluruh anggota keluarga.

2. Macak
Macak adalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik diri. Di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah bangunan rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang, sabar dan mau bekerja keras.

3. Manak
Manak artinya melahirkan anak. Tidak semata mengandung dan melahirkan, seorang wanita berkewajiban untuk mengurus, mendidik, dan membentuk karakter seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.


Namun, di balik itu semua, seorang lelaki tetap harus memilih seorang wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya, berdasar tiga watak sebagaimana yang diajarkan pujangga R.Ng. Ranggawarsita ini. Yakni watak Wedi (menyerah, pasrah, melakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati), watak Gemi (tidak boros akan nafkah yang diberikan serta selalu bersyukur, mampu menyimpan aib suami), dan watak Gemati (penuh kasih sayang dalam merawat suami).
Senin, 14 September 2015

Makna Simbolis Nasi Tumpeng Dalam Kenduri

Nasi tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel). Meskipun diyakini berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia sudah memaklumi dan mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng yang biasa dipakai dalam acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia. 


Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya.  Bagaikan kotak hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya.


Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.

TUMPENG
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.


Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.


Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). 

Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh)
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”.


Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.

MEMAKNAI TUMPENG

Hubungannya dengan Agama dan Ketuhanan
Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.


Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.


Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.


Konon alam semesta berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan Gunung Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya gunung ini berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh rangkaian lautan dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta terdapat rangkaian pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam Munandar).


Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar pastinya mengalami perubahan sesuai dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius di mata masyarakat (terutama di Jawa).


Di banyak kebudayaan gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.


Bagi orang-orang zaman dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi dan melampaui kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan ‘langit’. Tak mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru bentuk gunung. Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.


Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.


Berikut ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa tertentu kepada Sang Kuasa:
  1. Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si empunya hajat dikabulkan.
  2. Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
  3. Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
  4. Tumpeng Among-among –  bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
  5. Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
  6. Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang batu.
  7. Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
  8. Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
  9. Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
  10. Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
  11. Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.


Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.


Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya dengan Alam
Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.


Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.


Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.


Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).


Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.


Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.
  1. Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
  2. Ayam: ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
  3. Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
    1. Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai. Menghadirkan ikan lele sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol ketabahan, keuletan dalam hidup, serta sanggup bertahan hidup dalam situasi ekonomi paling bawah sekalipun. Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar tidak sungkan meniti karier dari bawah.
    2. Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
    3. Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
  4. Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan kulitnya (tidak dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan bahwa semua tindakan yang kita lakukan harus direncanakan(dikupas), dikerjakan sesuai dengan rencana dan dievaluasi hasilnya demi tercapainya kesempurnaan.
Piwulang Jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan dengan tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakannya adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
  1. Sayuran dan urab-uraban: Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
    1. Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
    2. Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
    3. Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
    4. Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
    5. Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang.
    6. Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
    7. Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
    8. Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.

Hubungannya dengan Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.


Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).


Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).


Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.


Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.


Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.


Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.

PENUTUP
Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.

PUSTAKA

  1. http://startinspiration.blogspot.com/2011/04/asal-mula-nasi-tumpeng.html
  2. http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2011/06/filosofi-dan-asal-usul-nasi-tumpeng.html
  3. http:// bebekjalan.blogdetik.com/mengetahui-lebih-jauh-tentang-tumpeng/
  4. http://www.facebook.com/note.php?note_id=204413946240199\
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng