Asal mula masuknya dan pementasan wayang kulit di Nusantara memang belum diketahui secara pasti. Berita tertulis tertua yang menyebutkan mengenai wayang terdapat
dalam Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042). Kata wayang dalam kakawin
tersebut nampak pada penyebutan “awayang” atau “aringgit” sebagai
berikut. Hananonton ringgit manangis asekel muda bidepan buwus wruh tuwin
yan walulang inukir malah inucap batur nin wan tresnen wisaya malaha ta
wihikanari tatwa nyan maya sahana-hana nin bawa siluman…. (Ada orang yang menonton wayang menangis sedih. Bodoh benar dia. Padahal
sudah tahu juga bahwa yang bergerak dan berbicara itu kulit yang
ditatah. Memang kata orang dia sedang terkena daya gaib, sedangkan
seharusnya ia tahu bahwa pada hakekatnya (pertunjukan) itu hanyalah
palsu, segala yang ada ini maya belaka).
Untuk selanjutnya, para penguasa di Tanah Jawa saling berlomba-lomba untuk menyempurnakan pagelaran wayang hingga pada sosok wayang itu sendiri. Tak hanya penguasa, para ulama seperti Walisongo juga memanfaatkannya sebagai media dakwah. Berikut ulasan pengembangannya dari masa ke masa.
Perkembangan bentuk dan pementasan wayang kulit sejak kerajaan Hindu hingga pembaruan pada masa Islam yang termuat dalam Serat Centhini tersebut kini dapat dilihat dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa. Hal ini dapat dicermati mulai dari simpingan wayang hingga bentuk masing-masing tokoh pewayangan yang banyak menyimbolkan watak wantu manusia.
Untuk selanjutnya, para penguasa di Tanah Jawa saling berlomba-lomba untuk menyempurnakan pagelaran wayang hingga pada sosok wayang itu sendiri. Tak hanya penguasa, para ulama seperti Walisongo juga memanfaatkannya sebagai media dakwah. Berikut ulasan pengembangannya dari masa ke masa.
1
Prabu Jayabaya memindahkan dan memperbesar gambar-gambar wayang dari
daun Tal ke permukaan kulit yang ditatah dan diberi pegangan dari bambu
pada tahun 959 Masehi atau 861 Çaka dengan sengkalan candraning wayang
wolu (Akan tetapi pendapat ini tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena
pada tahun itu yang memerintah kerajaan adalah Empu Sindok (928-947) dan
prabu Jayabaya memerintah tahun 1130-1160).
2
Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit menyempurnakan gambar wayang
dengan memberi sunggingan (warna) pada tahun 1378 Masehi atau 1300 Çaka
dengan sengkalan tanpa srna gunaning atmaja.
3
Prabu Ajisaka atau Widayaka dari kerajaan Purwacarita membuat Pakem
Lakon Dewa-Dewa pada tahun 1379 atau 1301 Çaka, dengan sngkalan ratu
guna maletik tunggal.
4
Para Wali seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Kudus menyempurnakan pertunjukan wayang dengan pemakaian kelir, debog,
blencong, untuk pertunjukan semalam suntuk pada tahun 1521 atau 1443
Çaka dengan sengkalan geni dadi sucining jagad.
5
Sultan Trenggana dari kerajaan Kediri menyempurnakan bentuk wayang
dengan penatahan pada tahun 1555 atau 1477 Çaka, dengan sengkalan resi
pitu kinarya tunggal. (Pendapat ini tidak cocok dengan ilmu sejarah
karena Sultan Trenggana memerintah Kediri pada tahun 1521-1546).
6
Prabu Hamangkurat Tegal Arum (Amangkurat I)
menambah pertunjukan wayang dengan pengiringan pesinden pada tahun 1634
atau 1556 Çaka, dengan sengkalan wayang dua ing wana tunggal.Perkembangan bentuk dan pementasan wayang kulit sejak kerajaan Hindu hingga pembaruan pada masa Islam yang termuat dalam Serat Centhini tersebut kini dapat dilihat dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa. Hal ini dapat dicermati mulai dari simpingan wayang hingga bentuk masing-masing tokoh pewayangan yang banyak menyimbolkan watak wantu manusia.